Minggu, 26 April 2015

GEMPA NEPAL


GEMPA NEPAL
KOMPAS.com - Gempa bermagnitudo 7,8 mengguncang Nepal pada Sabtu (25/4/2015). Hingga saat berita ini diturunkan, jumlah korban tewas akibat gempa mencapai 1.800 orang. Gempa yang juga mengguncang Tibet dan India ini dinyatakan sebagai yang terburuk dalam 81 tahun.

Mengapa gempa Nepal kali ini begitu mematikan? Itu adalah paduan faktor alam dan kesiapan manusianya.

Dari faktor alam, pakar gempa dari Pusat Gempa dan Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano, mengungkapkan bahwa jumlah lokasi pusat dan magnitudo gempa serta karakter lapisan tanah menyumbang peran besar pada keparahan dampak gempa.

Pusat gempa kali ini berada pada kedalaman 15 kilometer. Gempa memiliki mekanisme sesar naik dengan pergeseran maksimum 4 meter. Luas bidang yang bergeser 160 x 120 kilometer.

Dengan pusat gempa hanya 15 kilometer dari permukaan tanah, maka gempa ini termasuk gempa dangkal. Gempa dangkal juga pernah terjadi di Indonesia, yaitu gempa Yogyakarta pada tahun 2006. Gempa macam itu juga mengguncang Meksiko pada Mei 2014 lalu.

Aktivitas gempa mengakibatkan goncangan kuat. Goncangan pada gempa Nepal kali ini mencapai skala 9 MMI.

MMI (Modified Mercalli Intensity) menyatakan goncangan gempa dari skala 1 hingga 12. Dengan skala 9, maka gempa mengakibatkan goncangan sangat keras yang dapat menghancurkan bangungan yang dibangun tanpa kaidah rekayasa yang baik.

Goncangan pada gempa Nepal kali ini bisa sangat kuat karena pengaruh karakter tanah yang mengamplifikasi atau memperbesar gelombang gempa.

"Goncangan gempa diperkuat oleh adanya faktor amplifikasi di beberapa tempat terutama disekitar Katmandu, yang terbentuk dari lapisan tanah lunak yang dulunya berupa danau," kata Irwan kepada Kompas.com, Minggu (26/4/2015).

Berpadu dengan ketidaksiapan masyarakat setempat untuk menghadapi goncangan keras akibat gempa, maka gempa kali ini menjadi sangat mematikan.

Susan Hough, pakar gempa dari United States Geological Survey (USGS) yang bekerja untuk wilayah Nepal mengungkapkan, pemerintah Nepal sebenarnya sudah cukup peduli dengan soal gempa. Namun, masih ada masalah sumber daya untuk mewujudkan masyarakat tahan gempa.

"Orang Nepal membangun rumah dengan sumber daya yang mereka punya, mereka tidak bisa menjangkau struktur yang kuat dan rekayasa," katanya seperti dikutip Nature, Minggu.

Secara tektonik, Nepal memang salah satu negara yang paling rawan gempa. Nepal dibentuk oleh roses tumbukan lempeng benua India yang masuk dibawah benua Eurasia dengan kecepatan 45mm/tahun.

Nepal sendiri penrah diguncang gempa bermagnitudo 8 yang berdampak parah pada tahun 1984. Sejumlah 10.000 orang tewas akibat kala itu.

Indonesia lewat Badan Nasional dan Penanggulangan Bencana (BNPB) mengirimkan bantuan. Namun tak kalah penting, warga Indonesia juga harus lebih waspada pada gempa. Wilayah Yogyakarta dan Bandung misalnya, punya potensi mengalami gempa yang sama dengan Nepal. 

Pesan Waisak 2559 EB / 2015 Sangha Theravada Indonesia

PESAN DAN RENUNGAN WAISAK  2015



Pesan Waisak 2559 EB / 2015 Sangha Theravada Indonesia


Bhagavant.com,
Jawa Tengah, Indonesia – Gerakan Nasional Revolusi Mental telah dicanangkan oleh Presiden Indonesia Joko Widodo pada 1 Desember 2014. Menyoroti tentang revolusi mental, Sangha Theravada Indonesia (STI) dalam Pesan Waisak 2559 EB / 2015 mengatakan bahwa revolusi mental tidak bisa dilakukan tanpa pelaksanaan moral dalam kehidupan bersama dan harus ada perubahan paradigma mental.
Sangha Theravada Indonesia
“Revolusi mental tidak bisa dilakukan tanpa pelaksanaan moral dalam kehidupan bersama, perlu ada perubahan paradigma mental yang semula menghalalkan segala cara untuk mencapai cita-cita kemudian menjadi sangat peduli terhadap cara-cara baik dan tepat demi pencapaian cita-cita yang memberi berkah bagi diri sendiri maupun orang lain,” demikian kutipan Pesan Vesak atau Waisak 2559 EB / 2015 STI yang tahun ini mengangkat tema Waisak: Dhamma Melindungi yang Melaksanakan.
STI dalam pesannya juga membabarkan bagaimana kesusilaan (moral), keteguhan pikiran (meditasi), dan kebijaksanaan menjadi bagian dari revolusi mental dan dapat menjadi pelindung bagi diri sendiri bahkan bagi orang lain.
STI juga mengajak umat Buddha untuk membuat perlindungan bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat, bahkan bagi bangsa dan negara dengan cara melaksanakan kebenaran Dhamma.
Berikut pesan Waisak 2559/2015 dari STI yang ditandatangani oleh Ketua Umum (Sanghanayaka), Y. M. Bhikkhu Jotidhammo, Mahathera, di Kota Mungkid, Magelang, Jawa Tengah.

PESAN WAISAK 2559/2015
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
Dhammaṃ care sucaritaṃ, Na naṃ duccaritaṃ care
Dhammacārī sukhaṃ seti, Asmiṃ loke paramhi ca
(Dhammapada 169)
Sepatutnya ia melaksanakan Dhamma dengan baik, tidak melaksanakan dengan buruk.
Ia yang senantiasa melaksanakan Dhamma, akan berbahagia di dunia ini dan di dunia lain.
Hari Trisuci Waisak memperingati tiga peristiwa suci dalam kehidupan Guru Agung Buddha Gotama, yaitu: kelahiran Siddhartha Gotama calon Buddha, pencapaian Pencerahan Sempurna Buddha, serta kemangkatan Guru Agung Buddha. Tiga peristiwa suci itu terjadi pada hari yang sama, yaitu hari purnama sidi, bulan Waisak, dengan tahun yang berbeda-beda: kelahiran calon Buddha tahun 623 SM di Kapilavasthu, India Utara; Pencerahan Sempurna tahun 588 SM di Bodhgaya, India; dan Buddha mangkat tahun 543 SM pada usia 80 tahun, di Kusinara, India. Hari Trisuci Waisak 2559 tahun ini jatuh pada tanggal 2 Juni 2015. Seluruh umat Buddha di dunia memperingati Trisuci Waisak dengan laku puja bakti, meditasi, pendalaman Dhamma ajaran Buddha, serta kegiatan-kegiatan sosial-budaya Buddhis lain.
Sangha Theravada Indonesia mengangkat tema Trisuci Waisak 2559/2015: Dhamma Melindungi yang Melaksanakan. Dhamma ajaran Buddha meliputi tiga aspek, yaitu: pelajaran, pelaksanaan, dan pengalaman. Pelajaran Dhamma terdapat dalam kitab suci Tipitaka yang memuat kebenaran-Dhamma dan kemoralan-Vinaya, sedangkan pelaksanaan Dhamma adalah praktik kesusilaan (moral), praktik keteguhan pikiran (meditasi), dan praktik kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman Dhamma adalah hasil praktik kesusilaan, keteguhan pikiran, dan kebijaksanaan, yang berupa lenyapnya penderitaan.
Kesusilaan (Moral) sebagai Pelindung
Di tengah-tengah kehidupan dewasa ini, manusia sering mengabaikan pelaksanaan moral, karena ia lebih mengutamakan keberhasilan pencapaian cita-cita atau keinginannya. Menggantungkan cita-cita setinggi langit memang baik, tetapi lebih baik lagi apabila orang berpikir bagaimana cara yang tepat untuk mencapai cita-cita itu. Bukan asal cita-cita tercapai, apapun perilaku boleh dilakukan. Tidak peduli perilaku itu buruk bahkan menimbulkan penderitaan orang lain pun dilakukan demi tercapainya cita-cita seseorang. Sikap orang seperti itu cenderung terpukau pada kesenangan atas keberhasilan semata, dan enggan bersusah-susah melakukan upaya kebaikan untuk meraih keberhasilan itu. Cita-cita lebih diutamakan daripada cara pencapaiannya. Padahal cara pencapaian yang buruk akan berdampak negatif bagi keberhasilannya. Kecemasan, kekhawatiran, permusuhan, nama buruk, bahkan kehancuran rumah tangga bisa saja menyertai keberhasilan dalam perolehan cita-citanya. Sedangkan cara-cara baik, seperti: kerja keras, rajin, semangat hidup, pantang menyerah, kejujuran, kasih sayang, dan lain-lain, akan berdampak positif bagi keberhasilan cita-cita seseorang. Kenyamanan, kedamaian, nama baik, kepercayaan, persaudaraan akan diperoleh bersamaan dengan pencapaian cita-citanya.
Apabila orang berlomba-lomba memperoleh keberhasilan meskipun dengan cara-cara buruk, maka terjadilah krisis moral yang membuat kekacauan hidup, hidup saling mengancam, saling menjatuhkan, bahkan saling menyerang. Tidak ada rasa aman dalam kehidupan ini. Ada kalanya orang berkata bahwa hukum negara sebagai panglima dalam kehidupan bernegara. Tetapi permasalahan akan muncul, ketika penanggungjawab hukum negara itu tidak bermoral. Sulit dibayangkan bahwa hukum negara menjadi tidak digunakan sebagaimana mestinya. Orang yang bermoral buruk dapat berlindung di balik pembenaran hukum negara. Karena itu pelaksanaan moral tidak dapat ditawar lagi apabila hukum negara ataupun peraturan di tempat manapun juga ingin ditegakkan dan bermanfaat bagi kehidupan bersama. Revolusi mental tidak bisa dilakukan tanpa pelaksanaan moral dalam kehidupan bersama, perlu ada perubahan paradigma mental yang semula menghalalkan segala cara untuk mencapai cita-cita kemudian menjadi sangat peduli terhadap cara-cara baik dan tepat demi pencapaian cita-cita yang memberi berkah bagi diri sendiri maupun orang lain.
Penerapan moral akan menimbulkan perlindungan bagi orang yang melaksanakannya, sebab ia yang menerapkan moral tidak akan mempunyai pikiran bersalah dan menyesal. Ia akan merasa nyaman pergi kemana saja, karena ia merasa tidak bersalah. Ia juga tidak menyesali perbuatan yang telah dilakukannya. Ia akan melindungi dirinya sendiri dari berbagai kesalahan dan penyesalan. Bahkan melindungi orang lain pula, karena orang lain tidak merasa terancam dan tidak takut dengan kehadiran orang yang menerapkan moral.
Keteguhan Pikiran (Meditasi) sebagai Pelindung
Selain penerapan moral dalam kehidupan sehari-hari, keadaan pikiran manusia juga perlu diperhatikan, karena selama manusia masih memiliki keadaan pikiran yang serakah, benci, dan egois, maka kehidupan manusia sangatlah tidak nyaman. Keserakahan dalam pikiran dapat mendorong niat mencuri, korupsi, berzina, perilaku asusila, bahkan merusak hutan dan kandungan alam lingkungan hidup. Sedangkan kebencian akan mendorong niat orang melakukan kekerasan, perbuatan sadis, dan pembunuhan. Egois akan menyebabkan orang memiliki pandangan hidup yang keliru, tidak dapat membedakan mana yang benar dan yang salah, memiliki pandangan eksklusif dan tidak toleran. Hal-hal itu sangat membahayakan bagi kehidupan bersama, karena itu sangatlah penting penerapan meditasi sebagai cara untuk mengolah pikiran, agar pikiran dapat terbebas dari keserakahan, kebencian, dan keegoan. Revolusi mental dapat terlaksana apabila orang mau mengubah kondisi pikirannya yang semula dipenuhi oleh serakah, benci, dan egois, kemudian beralih menjadi pikiran yang memiliki kepedulian, cinta kasih, dan kebersamaan dalam hidup bermasyarakat.
Penerapan meditasi akan mengubah pikiran menjadi tidak lagi serakah melainkan gemar memberi, tidak lagi membenci melainkan penuh welas asih, dan tidak lagi egois melainkan inklusif dan toleran. Pikiran seperti itu akan menimbulkan perlindungan bagi seseorang dan juga perlindungan buat banyak orang di sekitarnya. Orang-orang akan merasa nyaman hidup bersama.
Kebijaksanaan sebagai Pelindung
Pemahaman hakikat hidup sering menimbulkan masalah dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan bersama. Ada orang yang menganggap bahwa kebahagiaan hidup hanyalah semata kebahagiaan materi, dengan kekayaan yang berlimpah orang berpandangan bahwa ia akan hidup berbahagia. Atau kebahagiaan hidup diperoleh dengan terpenuhinya kenikmatan-kenikmatan indriawi manusia, kenikmatan mata pada saat mata berkontak dengan objek penglihatan, kenikmatan telinga pada saat telinga berkontak dengan objek pendengaran, demikian pula kenikmatan indria lainnya. Pemahaman kebahagiaan hidup seperti itu akan menimbulkan pemujaan terhadap kekayaan materi, pemujaan terhadap kenikmatan indria, sebagai suatu kebahagiaan tertinggi. Apakah memang benar bahwa kebahagiaan tertinggi seperti itu? Bagaimana dengan kebahagiaan tertinggi sesuai ajaran Buddha? Untuk mengetahui hal itu, perlu sekali dipahami adanya hal-hal hakiki yang berlangsung dalam kehidupan ini. Dalam ajaran Dhamma, terdapat penjelasan bahwa meskipun Guru Agung Buddha ada ataupun tidak ada, terdapat hal-hal hakiki yang berlangsung sepanjang masa, yaitu adanya ketidakkekalan, ketiadapuasan, dan ketiadaan ego. Ia yang memahami ketidakkekalan, ketiadapuasan, dan ketiadaan ego, maka ia tidak mau menggenggam erat apapun yang telah diperolehnya. Ia memahami segala sesuatu akan berakhir, segala sesuatu tidak dapat memenuhi kepuasan secara terus menerus, dan segala sesuatu tidak dapat diatur sesuai kehendaknya, sedangkan dirinya sendiri saja akan mengalami hal-hal seperti tersebut di atas, maka hidup ini hanyalah proses yang terus berlangsung. Manusia terlibat dalam proses kehidupan ini bersama dengan segala sesuatu yang terdapat dalam kehidupan itu. Manusia dapat turut berperan serta memengaruhi proses kehidupan itu, apakah akan merawat kehidupan atau akan menghancurkan kehidupan. Apapun yang terjadi dalam proses kehidupan itu berlangsung sesuai dengan hukum sebab akibat yang saling bergantungan. Hukum kausalitas itulah yang melangsungkan proses kehidupan. Revolusi mental juga memerlukan pemahaman bahwa hidup adalah proses yang berlangsung terus menerus karena berlakunya hukum sebab akibat. Karena itu pandangan hidup yang memohon atau menanti, hendaknya perlu diubah menjadi berikhtiar dan bekerja keras karena apa yang kita peroleh dari hidup ini adalah hasil dari upaya kita.
Pengembangan kebijaksanaan adalah pengembangan pemahaman hakikat kehidupan itu, memahami proses kehidupan beserta hukum sebab akibat yang berlaku akan menimbulkan pengertian kebahagiaan hidup sebagai akibat dari segala sesuatu yang dilakukan dengan baik, benar, dan bermanfaat. Kebahagiaan hidup bukan berbentuk suatu kecanduan atau kelekatan, seperti halnya kelekatan terhadap kekayaan materi dan kenikmatan indria. Kebahagiaan hidup justru kebebasan dari kecanduan atau kelekatan. Pelepasan kecanduan dan kelekatan atau sikap bersahaja dalam hidup sehari-hari itulah yang membuat masing-masing orang merasa nyaman dan tidak mengancam orang lain.
Selamat Hari Trisuci Waisak 2559/2015, marilah umat Buddha sekalian membuat perlindungan bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat, bahkan bagi bangsa dan negara dengan cara melaksanakan kebenaran Dhamma. Karena pelaksanaan Dhamma akan menjauhkan hidup kita dari segala keadaan tidak nyaman atau penderitaan. Revolusi mental merupakan gerakan hidup baru yang berlandaskan pada pelaksanaan kesusilaan, keteguhan pikiran, dan kebijaksanaan. Revolusi mental itu akan melindungi hidup kita dari kekacauan laku, pikiran, dan pedoman hidup. Semoga dengan revolusi mental ini dapat mengantarkan kehidupan bangsa dan negara kita maju, sejahtera, serta damai.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa, Tiratana, selalu melindungi.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia
Kota Mungkid, 2 Juni 2015
SANGHA THERAVADA INDONESIA
ttd.
Bhikkhu Jotidhammo, Mahathera
Ketua Umum / Sanghanayaka

Pesan Waisak 2558 EB / 2014

PESAN DAN RENUNGAN WAISAK


Pesan Waisak 2558 EB / 2014 Sangha Agung Indonesia


Bhagavant.com,
Jakarta, Indonesia – Beberapa minggu lagi Waisak atau Vesak 2558 Era Buddhis (EB) tahun 2014 akan tiba. Dan tahun 2014 ini merupakan tahun politik bagi bangsa Indonesia, yaitu saat bangsa Indonesia melaksanakan pesta demokrasi dengan mengadakan pemilihan umum untuk memilih pemimpin bangsa untuk lima tahun mendatang.
Memperhatikan kondisi politik serta kepemimpinan saat ini di Indonesia, dengan mengusung tema Waisak 2558: Buddha Memimpin Kita Hidup Berkesadaran, Sangha Agung Indonesia (SAI/Sagin) memberikan pesan Waisak dengan menitikberatkan pada anjuran untuk hidup berkesadaran kepada umat termasuk kepada para pemimpin politik.
Berikut pesan Waisak 2558/2014 dari Sagin yang ditandatangani oleh ketua umumnya, Mahathera Nyanasuryanadi.

PESAN WAISAK 2558 BE/2014
SANGHA AGUNG INDONESIA
Namo Sanghyang Ādi Buddhaya
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammā Sambuddhassa
Namo Sabbe Bodhisattāya-Mahasattāya

BUDDHA MEMIMPIN KITA HIDUP BERKESADARAN
Waisak Purnamasiddhi telah tiba, semua umat Buddha mengingat dan merenungkan makna spiritual dan semangat yang terkandung dalam tiga peristiwa besar: Pertama Pangeran Siddharta Gotama di Lumbini, di taman yang indah. Beliau adalah Bodhisattva yang turun ke bumi dari surga Tusita untuk menjadi Buddha. Kedua dari Pencapaian Pencerahan petapa Siddharta Gotama berhasil mewujudkan Nibbana dan menjadi Samyaksambuddha di Bodhgaya, di bawah pohon Bodhi. Yang ketiga, parinibbana Buddha Gotama di Kusinara, di antara dua pohon Sala kembar. Peristiwa yang terjadi pada bulan Waisak merupakan totalitas kehidupan yang penuh dengan dedikasi dan karya besar bagi kemanusiaan, peradaban, dan alam semesta.
Setiap peristiwa dalam kehidupan Buddha memberikan pelajaran komprehensip kesadaran terhadap realitas-realitas kehidupan manusia, tentang keterikatan pada usia tua, kesakitan (penyakit), dan kematian, serta mengajarkan pentingnya perenungan yang mendalam dan pikiran kritis. Kesadaran (Buddha) mengingatkan akan ketidaksadaran terhadap kehidupan yang tenggelam dalam aneka kesenangan dan masalah-masalah yang rendah, dan terlena pada keasyikan besar yang menggoda pada setiap saat dalam kehidupan. Pencapaian pencerahan Buddha mengajarkan kebijaksanaan dan kebebasan tertinggi dari penderitaan yang merupakan sebuah potensi inheren di dalam manusia. Energi kesadaran ini ketika dipupuk akan membantu, melindungi, dan membarikan keberanian untuk kembali kepada diri sendiri. Kesadaran penuh ini akan membawa konsentrasi, dan konsentrasi akan membawa pemahaman. Pemahaman akan membebaskan dari ketidaktahuan, kemarahan, dan keserakahan. Perhatian mental yang tepat (yonisomanasikāra) menghadirkan kebahagiaan, kedamaian, kejernihan, dan cinta kasih. Ketika bebas dari penderitaan kebahagiaan menjadi mungkin, dan bagaimana bisa bahagia ketika dilanda kemarahan, ketidaktahuan, dan keserakahan. Buddha menjawab pertanyaan devatā (S.I.42) “Setelah membunuh, apakah seseorang tidur dengan lelap? Setelah membunuh, apakah seseorang tidak bersedih? Apakah satu hal ini, O, Gotama, pembunuhan yang Engkau setujui?” Buddha Gotama menjawab Setelah membunuh kemarahan, seseorang tidur dengan lelap; setelah membunuh kemarahan, seseorang tidak bersedih; pembunuhan kemarahan, O, Devatā, dengan akarnya yang beracun dan pucuknya yang bermadu; inilah pembunuhan yang dipuji oleh para mulia, karena setelah membunuhnya, seseorang tidak bersedih.
Hidup berkesadaran merupakan “jalan langsung (ekayano)” yang dijelaskan dalam bagian pertama Satipatthana Sutta (M.I.56) untuk memperoleh realisasi. Buddha bersabda: Para bhikkhu, inilah jalan langsung untuk mempurifikasikan para makhluk, mengatasi penderitaan dan ratapan, menghilangkan penderitaan (dukkha) dan penolakan, memperoleh cara sesungguhnya, merealisasi nibbana, yaitu empat satipatthana (1) merenungkan tubuh (kaya), (2) merenungkan perasaan (vedanā), (3) merenungkan pikiran (citta), (4) merenungkan fenomena-fenomena (dhamma). Praktik ini dapat membantu mengatasi kelemahan sehubungan dengan lima sila (A.IV.457). Energi negatif selalu mencoba muncul, namun jika menghadirkan perhatian penuh kesadaran maka kita akan mengenalinya. Perhatian penuh kesadaran akan membantu mengenali kebiasaan-kebiasaan yang diwariskan oleh leluhur dan kedua orang tua, atau yang diperoleh selama masa kanak-kanak. Melalui napas masuk dan keluar dengan perhatian penuh kesadaran, serta berkata ‘energi kebiasaan yang kukasihi, muncul kembali’. Dengan mengenali kebiasaan itu, maka akan melemah kekuatannya. Jika muncul kembali lakukan cara yang sama, dan energi akan semakin melemah kekuatannya. Jadi tidak perlu memeranginya atau melawan, cukup kenali dan tersenyumlah kepadanya, sehingga akhirnya tidak bisa mengendalikan kita lagi.
Buddha memimpin kita hidup berkesadaran, dimana kata Buddha berarti seorang yang sadar atau seseorang yang telah terjaga, yang tahu apa yang sedang terjadi. Buddha adalah kita, dengan latihan Dharma akan menolong dan memimpin diri kita serta orang-orang sekitar agar terjaga atau tergugah dengan fakta, bahwa semua memiliki benih keterjagaan di dalam diri, dan karena itulah masih banyak harapan. Dengan keterjagaan kolektif, maka segalanya dapat bergerak dengan cepat. Sehingga, apa pun yang kita lakukan harus ditujukan untuk menghadirkan keterjagaan kolektif. Para pemimpin memiliki benih-benih kebaikan di dalam dirinya, dan memiliki benih-benih negatif. Kemungkinan dikelilingi oleh orang-orang yang tidak tahu cara menyirami benih-benih kebaikan, dan terus menyirami benih-benih ketakutan, kemarahan, kekerasan, dan keserakahan. Karena itulah, perlu mencari cara-cara agar bersentuhan dengan para pemimpin politik, serta menolong mereka. Protes adalah satu jenis pertolongan, tetapi harus dilakukan dengan arif-bijaksana, sehingga dilihat sebagai sebuah tindakan kasih, dan bukan tindakan kebencian.
Para pemimpin politik dan bisnis memiliki banyak energi serta niat untuk memenuhi harapan-harapan mereka. Sebagian dari niat tersebut mungkin sangatlah bermanfaat; niat untuk menghentikan polusi, mengakhiri ketimpangan sosial, merestorasi kedamaian, mentransformasi serta membawa perubahan di dunia. Tetapi bukan berarti mereka juga tidak memiliki niat untuk menjadi penuh kekuasaan, penuh kesuksesan, serta terkenal. Jadi, mungkin terdapat banyak niat yang saling kontradiksi dalam diri pemimpin. Kita bisa menolong mereka agar sadar akan motivasi-motivasi mereka, serta melihat cara untuk mengharmoniskannya. Caranya adalah dengan menolong mereka mengerti dirinya sendiri. Bagus bagi seorang praktisi agar cukup rendah hati untuk mengenali bahwa dia belajar banyak tentang dirinya sendiri, tentang penderitaan, serta tentang situasi dunia ini.
Latihan untuk mendengar secara mendalam serta mengerti diri sendiri dengan baik, untuk mendengar dunia serta mengerti penderitaannya; adalah sama bagi setiap orang, baik mereka praktisi-praktisi individual, para pemimpin politik, atau para pemimpin bisnis. Banyak pemimpin bisnis yang ingin melakukan hal-hal baik, yang ingin menggunakan perusahaannya untuk lebih mempromosikan kesetaraan sosial dan kesejahteraan. Tetapi mereka menghadapi banyak kesulitan. Sebagian dari mereka harus melakukan kompromi, karena jika tidak mereka mungkin kehilangan posisi dan karir mereka. Para pemimpin memiliki kesulitan-kesulitannya sendiri. Kita tidak bisa dengan gampangnya menyalahkan mereka atas masalah-masalah dunia. Kita harus mengerti sebelum bisa menolong mereka.
Sembari mengenali manfaat pemisahan agama dari politik dan keterbatasan sistem politik dalam menghasilkan kedamaian dan kebahagiaan, ada beberapa aspek ajaran Buddha yang berhubungan dekat dengan aturan politik pada masa kini. Pertama, Buddha berbicara tentang kesejajaran semua umat manusia, dalam Aggañña Sutta(D.III.83) satu-satunya klasifikasi umat manusia, menurut Buddha didasarkan pada kualitas tingkah laku moral mereka. Kedua, Buddha mendorong semangat kerja sama sosial dan partisipasi aktif dalam masyarakat. Ketiga, karena tidak seorang pun ditunjuk sebagai penerus Buddha, anggota persamuan akan dituntun oleh Dharma dan Vinaya, atau Aturan Kebenaran Hukum. Keempat, Buddha mendorong semangat konsultasi dan proses demokrasi.
Pendekatan Buddha terhadap kekuasaan adalah moralisasi dan penggunaan kekuasaan rakyat secara bertanggungjawab. Buddha berkhotbah tentang tanpa kekerasan dan kedamaian sebagai pesan universal. Beliau tidak menyetujui kekerasan atau pemusnahan kehidupan, dan menyatakan bahwa tidak ada hal yang disebut perang ‘adil’. Buddha mendiskusikan pentingnya dan prasyarat pemerintahan yang baik. Beliau menunjukkan bagaimana negara dapat menjadi korup, memburuk, dan tidak bahagia jika kepala pemerintahan korup dan tidak adil. Beliau berbicara menentang korupsi dan bagaimana pemerintah harus bertindak berdasarkan pada prinsip kemanusiaan. Buddha bersabda: Jika penguasa suatu negara adil dan baik, para menteri menjadi adil dan baik, Jika para menteri adil dan baik, para pejabat tinggi menjadi adil dan baik, Jika para pejabat tinggi adil dan baik, para bawahan menjadi adil dan baik; Jika para bawahan adil dan baik, rakyat menjadi adil dan baik’ (Aṇguttara Nikāya).
Buddha bersabda (Cakkavatti Sīhanadā Sutta (D.III.60) bahwa pelanggaran susila dan kejahatan, seperti pencurian, penipuan, kekerasan, kebencian, kekejaman, dapat muncul dari kemelaratan. Para raja dan pemerintah mungkin mencoba untuk menekan kejahatan melalui hukuman, tapi sia-sia memberantas kejahatan dengan kekerasan. Dalam Kūtadanta Sutta (D.I.136), Buddha menyarankan pengembangan ekonomi sebagai pengganti kekerasan untuk mengurangi kejahatan. Pemerintah harus menggunakan sumber daya negara untuk memperbaiki kondisi ekonomi negara tersebut. Hal ini dapat dimulai dengan pengembangan pertanian dan pedesaan, pemerintah memberikan makanan dan bibit kepada mereka. Menyediakan bantuan modal (finansial) pada pengusaha dan pedagang. Menyediakan gaji yang memadai bagi pegawai (pekerja) untuk mempertahankan hidup layak dengan martabat manusia. Apabila mereka melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing, maka pendapatan negara akan meningkat, negara akan aman dan damai, rakyat berdaulat senang dan bahagia.
Buddha memberikan 10 peraturan bagi Pemerintahan yang baik,yang dikenal sebagai Dasa Raja Dharma (Ja.V.378). Sepuluh peraturan ini bahkan dapat diterapkan saat ini oleh pemerintah mana pun yang ingin memerintah negara dengan damai. Menurut peraturan ini, pemerintah seharusnya: (1) Kedermawanan atau menghindari mementingkan diri sendiri, (2) Memelihara sifat moral yang luhur, (3) Siap untuk mengorbankan kesenangan diri sendiri untuk kesejahteraan warga negara, (4) Integritas atau tulus, jujur, dan dapat dipercaya,(5) Baik dan lemah lembut, (6) Menjalani hidup sederhana agar diteladani warga negara, (7) Bebas dari kebencian apa pun (tanpa amarah), (8) Menerapkan prinsip tanpa kekerasan, (9) Menjalankan kesabaran, dan (10) Menghormati pendapat rakyat untuk memajukan perdamaian dan keselarasan.
Berkenaan dengan tingkah laku pemerintah, Beliau lebih lanjut menasehati: (a) Pemerintah yang baik harus berlaku adil, tidak berat sebelah dan tidak mendiskriminasi antara satu kelompok warga negara tertentu terhadap yang lainnya. (b) Pemerintah yang baik tidak menyimpan segala bentuk kebencian terhadap warga negaranya. (c) Pemerintah yang baik tidak takut terhadap apa pun dalam pelaksanaan hukum, jika hal itu adil adanya. (d) Pemerintah yang baik harus memiliki pemahaman yang jelas tentang hukum untuk dilaksanakan. Hukum tidak boleh dilaksanakan hanya karena pemerintah memiliki otoritas untuk memberlakukannya. Hal ini harus dilakukan dengan cara yang masuk akal dan dengan akal sehat (Cakkavatti Sīhanadā Sutta).
Ada banyak cara untuk mendekati para pemimpin. Kita semua tukang kayu, masinis, jurnalis, penulis, produser film, pendidik, orang tua, pengacara, perawat, bisa menulis surat, menelepon, membawa spanduk-spanduk. Bisa mengekspresikan diri dalam cara yang bisa menghadirkan kewaspadaan serta mewujudkan pentransformasian kesadaran kolektif. Ini adalah penanganan di akarnya; yaitu mentransformasi cara berpikir, menolong semua agar memandang fenomena-fenomena dengan lebih mendalam serta jernih. Semua orang dapat melakukan hal ini dalam kehidupan sehari-hari. Keadilan sejati harus memiliki welas-asih didalamnya. Saat seseorang melakukan sesuatu yang destruktif, maka kerusakan tidak hanya terjadi pada korban, tetapi juga pada pelaku. Semua tahu bahwa setiap kali mengucapkan sesuatu yang tidak arif-bijaksana, tutur kata yang bisa merusak hubungan dengan orang lain serta membuatnya menderita; tahu bahwa kita juga telah merusak diri sendiri, serta menciptakan penderitaan bagi diri sendiri. Hal demikian berasal dari kurangnya kebijaksanaan, kurangnya kesadaran, dan kurangnya welas asih; dan menderita seperti yang diderita orang lain. Mungkin tidak saat ini, tetapi tidak lama kemudian akan menderita. Penyebab sesungguhnya dari tindakan destruktif adalah ketidaktahuan, kurangnya kebijaksanaan. Jika tahu cara memandang kriminal, maka akan memiliki welas-asih. Dengan welas-asih, bisa menawarkan jenis keadilan yang mengandung lebih banyak kesabaran, pengertian, dan toleransi. Tidak hanya bisa merekonsiliasi keadilan dengan welas-asih, tetapi juga bisa mendemonstrasikan bahwa keadilan sejati harus memiliki welas-asih dan pengertian di dalamnya.
Semoga momen Waisak 2558 BE ini menginspirasi menjadi pemimpin diri sendiri dengan hidup berkesadaran, mengembangkan kesadaran, mengembangkan kebaikan berhubungan dengan belajar untuk hidup dari satu hati yang tercerahkan. Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
Mettacittena,
SANGHA AGUNG INDONESIA
Mahathera Nyanasuryanadi
Ketua Umum
___
Demikian pesan Waisak 2558 EB dari Sagin.[Bhagavant, 19/4/14, Sum]


SANGHA THERAVADA INDONESIA

Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya,
Jl. Agung Permai XV/12, Jakarta 14350
Telp (021) 64716739. Faks (021) 6450206.
Vihara Mendut,
Kotakpos 111, Kota Mungkid 56501, Magelang
Telp / Faks (0293) 788564.


PESAN WAISAK 2558/2014

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammàsambuddhassa

Pare ca na vijànanti, Mayamettha yamàmase
Ye ca tattha vijànanti, Tato sammanti medhagà
(Dhammapada 6)

Hari Trisuci Waisak memperingati tiga peristiwa agung yang terjadi pada bulan Waisak, yaitu peristiwa kelahiran Bodhisatta Siddhattha yang kelak menjadi Buddha Gotama, saat pencapaian Penerangan Sempurna Kebuddhaan, dan saat mangkat Buddha Gotama. Tiga peristiwa agung itu menjadi objek penghormatan bagi umat Buddha dalam Pujabakti Waisak. Tahun ini tepat pada tanggal 15 Mei 2014 kita memperingati Trisuci Waisak. Umat Buddha melakukan Pujabakti Waisak di candi, vihara ataupun cetiya dimana mereka berada.
Sangha Theravada Indonesia menyampaikan Pesan Waisak 2558/2014 kepada seluruh umat Buddha dengan mengangkat tema: Kerukunan Dasar Keutuhan.
Kerukunan itu indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pula pada akhirnya. Prinsip kerukunan sendiri mencakup tiga hal: sikap batin rukun, pencegahan konflik, dan persaudaraan. Awalnya berupa sikap batin rukun, pertengahannya berbentuk pencegahan konflik, dan akhirnya terjadilah persaudaraan atau keutuhan. Sikap batin rukun adalah pengendalian nafsu-nafsu keinginan egois. Nafsu-nafsu keinginan egois menjauhkan manusia dari sifat kemanusiaannya, sehingga menimbulkan konflik dan ketegangan dalam masyarakat. Pencegahan konflik adalah mencegah segala cara kelakuan yang bisa mengganggu keselarasan dan ketenangan masyarakat. Persaudaraan atau keutuhan akan menjadikan keselarasan hidup masyarakat bersama. Konflik sosial merupakan ancaman bagi masyarakat yang dapat menghancurkan berbagai pihak yang terlibat. Guru Agung Buddha mengatakan bahwa sebagian besar orang tidak mengetahui bahwa dalam pertengkaran mereka dapat saling binasa, tetapi mereka yang menyadari kebenaran itu, akan segera mengakhiri pertengkaran. (Dhammapada 6)
Konflik perlu disadari bermuara dari tiga sebab utama, yaitu munculnya nafsu-nafsu ketamakan, kebencian, dan keakuan. Ketamakan akan menimbulkan pengambilan milik ataupun perampasan hak milik orang lain. Karena itu ketamakan dapat menimbulkan konflik antara orang yang diuntungkan dan dirugikan. Hasrat serakah akan menimbulkan kesengsaraan bagi orang lain, dan disitulah benih konflik timbul, seperti halnya pada saat orang melakukan penipuan ataupun korupsi tanpa menghiraukan terjadinya kesengsaraan hidup orang lain. Selain ketamakan, penyebab konflik yang lain adalah kebencian, ketidaksukaan mendalam yang terdapat dalam pikiran kita akan menimbulkan nafsu keinginan egois untuk menyusahkan ataupun membinasakan orang yang tidak disukai. Kebencian dapat disebabkan oleh berbagai bentuk perbedaan atau pandangan yang tidak dapat diterima dengan lapang dada, sehingga kebencian ini sangat berbahaya bagi kehidupan bersama. Konflik yang ditimbulkan dari kebencian dapat berlangsung lama karena masing-masing yang bertikai akan berusaha untuk saling menghancurkan. Pada saat sekarang ini rakyat Indonesia sedang melaksanakan pesta demokrasi Pemilihan Umum, tentu rakyat akan memilih sesuai dengan keinginannya, ada yang terpilih dan ada pula yang tidak terpilih, ada yang memperoleh suara banyak dan ada yang memperoleh suara sedikit, karena itu perlu dicegah terjadinya konflik karena penolakan hasil pemilihan tersebut. Adapun apabila terjadi berbagai keganjilan dalam proses pemilihan hendaknya dapat diselesaikan secara adil dan benar sesuai hukum yang berlaku.
Penyebab lain dari konflik adalah keakuan atau arogansi. Arogansi kekuasaan, kekayaan, kepandaian akan menimbulkan konflik, karena nafsu kesewenang-wenangan yang ditimbulkan dari arogansi itu akan menyusahkan hidup orang lain. Salah satu bentuk keakuan itu adalah sikap keras kepala bahkan anti toleransi akan memicu konflik bagi kehidupan sosial. Keras kepala karena kekuasaan, kekayaan, kepandaian selalu membuka pertikaian dengan orang lain. Karena itu kehidupan bersama dalam perbedaan ataupun kemajemukan agama dan budaya menjadi sulit terwujud ditengah-tengah sentimen keagamaan dan kebudayaan yang berkembang.
Menyadari konflik yang bisa saling menghancurkan dan membinasakan sangatlah penting, karena kehidupan yang diwarnai konflik akan menimbulkan suasana hati yang selalu penuh kecurigaan, ketidakpercayaan, ketakutan, kemarahan, dan berbagai bentuk pikiran negatif lainnya. Suasana hati seperti itu akan membuat hidup kita terpecah belah, saling terpisah dalam pertentangan. Padahal kehidupan kita, baik dalam keluarga, maupun bersama tetangga, bahkan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sangatlah perlu dibangun dalam kerukunan untuk menjaga keutuhan. Keutuhan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menjadi sarana bagi tercapainya kehidupan sejahtera dan bahagia.
Guru Agung Buddha mengatakan terdapat empat hal yang dapat menimbulkan suasana kerukunan hidup: berderma, berbicara santun, melakukan hal yang bermanfaat, dan tahu menempatkan diri. Berderma atau menolong orang yang memerlukan bantuan akan menimbulkan suasana persahabatan, karena pada hakikatnya hidup yang saling tolong menolong akan dapat meringankan bahkan mengatasi kesusahan hidup. Berbicara santun akan menyenangkan orang lain, menimbulkan sikap saling menghormati satu sama lain. Penghargaan bagi setiap keberadaan manusia akan memanusiakan hidup masing-masing manusia. Melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi orang lain, sama halnya dengan saling melayani keperluan orang lain, permusuhan menjadi sirna, karena yang ada hanya kemanfaatan dan kebaikan bersama. Tahu menempatkan diri berarti menjaga diri agar tidak melakukan hal-hal yang buruk bagi sesama. Tolong menolong, saling menghargai, saling melayani, saling tahu menempatkan diri, akan membuat relasi antar manusia saling berdekatan, mendekatkan jarak sikap hati antar manusia. Itulah hal-hal yang dapat menimbulkan persaudaraan antar sesama manusia.
Kepada siapapun yang berhasil memperoleh kesuksesan, terutama pada saat Pemilihan Umum saat ini, Guru Agung Buddha menyatakan pelajarilah cara-cara untuk mendapatkan persatuan yang amat dipuji oleh beliau. (Jataka) Marilah menciptakan hidup rukun dengan tidak segan-segan memiliki kepedulian, berbicara dengan kerendahan hati, melakukan hal-hal yang bermanfaat, dan tahu menjaga diri dalam kebaikan kepada mereka yang mengalami kegagalan, agar supaya mereka tetap merasa diperlukan dan berguna untuk membangun bangsa dan negara. Karena kemajuan bangsa dan negara tentu melibatkan seluruh masyarakat bangsa Indonesia tanpa kecuali siapapun juga warga bangsa kita.
Semoga kerukunan hidup masyarakat kita menjadi dasar bagi keutuhan bangsa dan negara demi menyongsong masa depan yang lebih baik dan lebih bahagia. Guru Agung Buddha mengatakan berbahagialah mereka yang dapat hidup rukun, berbahagialah mereka yang dapat mempertahankan keutuhan. (Dhammapada 194)
Selamat Hari Raya Trisuci Waisak 2558/2014 bagi seluruh umat Buddha Indonesia. Semoga berkah Waisak melimpah pada kehidupan kita, hidup bahagia lahir maupun batin dalam Dhamma ajaran Guru Agung Buddha.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa, Tiratana, selalu melindungi kita.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia
Kota Mungkid, 15 Mei 2014
SANGHA THERAVADA INDONESIA
 ttd.
Bhikkhu Jotidhammo, Mahathera
Ketua Umum / Sanghanayaka